“Banyak orang menganggap kemanusiaan sebagai amal. Padahal, kemanusiaan adalah tanggung jawab.”
Mario Gultom, Founder Sunyi
Di tengah keramaian jalan utama Fatmawati, Jakarta Selatan, berdiri sebuah kedai kopi dengan tembok putih melengkung dan logo biru mencolok. Tak perlu lama untuk menyadari bahwa ini merupakan tempat yang spesial. Seluruh pegawainya, mulai dari juru parkir, koki, hingga barista, merupakan penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, pengunjung pun diwajibkan menyampaikan pesanan menggunakan bahasa isyarat.
Inilah Sunyi, House of Coffee & Hope, sebuah café bertema kemanusiaan yang dirintis oleh dua alumni S1 Branding Prasetiya Mulya, Mario Gultom dan Almas Nizar. Kepada Cerita Prasmul, teman sekelas berujung partner tersebut mendetailkan perjalanan panjang mereka dalam mewujudkan cita-cita mulia.
Ide yang Terkubur Bertahun-tahun
Sejak berkuliah, Mario telah memupuk passion di bidang kemanusiaan. Mempelajari marketing dan kewirausahaan di Prasmul, keinginannya untuk terjun ke dunia socio-entrepreneurship dan membantu penyandang disabilitas sudah terbentuk sejak 2016. Namun setelah idenya “diserang” dan disebut “keanak-anakan”, Mario menghilangkan rencana tersebut dari benaknya.
“Ada orang pernah bilang ke aku, ‘kalau mau tolong orang, kumpulin uang yang banyak, terus kasih ke mereka’,” Mario memaparkan. “Padahal kalau uang itu habis, mereka akan susah lagi. Seharusnya, kita bikin wadah yang sustainable seumur hidup mereka. Itu baru namanya solusi.”
Bukan hanya sama-sama alumni Prasmul, Mario dan Almas juga merupakan teman sekelas.
Memutuskan untuk mematangkan ilmu sembari bekerja full-time, Mario bertemu kembali dengan Almas, kali ini sebagai rekan kerja di sebuah perusahaan. Sesama Prasmulyan, Mario mengetahui pola pikir dan entrepreneurship mindset yang dimiliki Almas. Setelah mencurahkan kembali idenya, Almas akhirnya menjadi orang pertama yang menaruh kepercayaan kepada Mario, sekaligus menyarankan untuk membangun kedai kopi, sebuah sektor menjanjikan terutama di ibukota.
“I believed in the idea,” ungkap Almas. “Tapi tidak asal eksekusi, proses research dan brainstorming kami panjang sampai akhirnya memiliki konsep yang firm, approved, tested, dan bisa launching pada awal 2019 lalu. Integritas itu salah satu hal yang kita dapatkan dari Prasmul.”
Menciptakan Indonesia yang Lebih Inklusif
Salah satu tantangan Mario dan Almas adalah dalam membangun kepercayaan masyarakat disabilitas. Keduanya tahu bahwa merekalah yang harus reach out dan beradaptasi. Dalam proses tersebut, mereka mendekatkan diri ke komunitas-komunitas disabilitas, serta mempelajari bahasa isyarat di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia. Di sini mereka semakin akrab dengan teman-teman tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan lainnya.
Gubernur Anies Baswedan ketika mengunjungi Sunyi.
Sunyi menarik perhatian media internasional ABC News Australia.
“Saat kami membuka lowongan, kami tidak memasukkan persyaratan pengalaman kerja,” Mario menjelaskan. “Mereka udah susah cari kerja, masa kami minta pengalaman? Kami mendahulukan high-spirit. Ternyata, ada ratusan orang yang mendaftar. Ini semakin membuktikan betapa banyaknya kaum disabilitas yang menganggur.”
Ketika menjalankan training, Mario dan Almas menggunakan bantuan visual dalam berkomunikasi, lalu memodifikasi mesin dan peralatan agar bisa digunakan oleh karyawan tunadaksa. Saat ini, Sunyi memiliki seorang barista bertangan satu yang dapat mengoperasikan mesin espresso, bahkan membuat latte art.
“Datang ke Sunyi dan melihat anaknya bekerja, salah satu orang tua dari karyawan kami hanya menangis. Ia bilang ini pertama kalinya anaknya menjadi manusia. Mendengar itu, kami terenyuh…”
Sumber foto: Instagram @sunyi.coffee
Upaya mereka dalam mengekspos kemampuan kerja penyandang disabilitas sudah mengundang kolaborasi dari berbagai brand seperti Grab Indonesia, Tropicana Slim, Nutrifood, dan MRT Jakarta, yang ingin turut menyebarkan awareness. Keduanya pun berharap experience unik Sunyi dapat terus diviralkan oleh para pengunjung, sehingga tercipta Indonesia yang semakin inklusif.
“Saat berkunjung ke Sunyi, customer dapat belajar bahasa isyarat secara gratis,” papar Almas. “Mereka tinggal menghampiri barista kami dan bilang mau belajar. Biasanya, setiap siang, café ramai dengan orang berkelompok, masing-masing dengan guru yang berbeda dari Sunyi.”
Take the Big Step!
Mario dan Almas tidak memungkiri fakta bahwa seperti UMKM lainnya, Sunyi juga merasakan dampak dari COVID-19. Tetapi kedua Prasmulyan tersebut tahu bahwa kunci utama berbisnis adalah adaptasi. Selain membuka dine-in terbatas sesuai protokol PSBB, mereka juga mengonversikan seluruh experience Sunyi, mulai dari kelas bahasa isyarat, pameran karya seni, hingga workshop, menjadi event digital. Tidak goyah, Mario dan Almas pun berencana untuk expand ke Bintaro, bahkan membuka sekolah bahasa isyarat di Kota Tua.
Sunyi menggalang dana untuk membantu teman-teman disabilitas di masa pandemi.
Mario (kiri) dan Almas (kanan) masih memiliki banyak rencana untuk masa depan Sunyi.
“Dari Prasmul, kami belajar bahwa bisnis yang baik itu berdasarkan opportunity dan problem,” Almas menyatakan. “Kami percaya bahwa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah problem yang harus dipecahkan. Dari situlah asal-usul keberanian kami.”
Sejalan dengan Almas, Mario turut menyarankan para future entrepreneur untuk menyelipkan nilai kemanusiaan dalam setiap ide. Ia menyampaikan, “Profit, people, planet. Jangan pernah lupa komponen tersebut sebagai pebisnis. Sekecil apapun unsurnya, hal itu bisa memengaruhi satu orang, yang kemudian bisa memengaruhi orang berikutnya.”
“Memang tidak mudah, but just take the big step. Kami jamin, kedepannya akan sangat rewarding,” tutup Almas.
Sunyi House of Coffee & Hope
Jl. RS. Fatmawati Raya No.15, RT.1/RW.3, Cilandak Bar., Kec. Cilandak, Kota Jakarta Selatan
Instagram: @sunyi.coffee
Leave A Comment