Jakarta – Dengan mengusung konsep perjalanan seseorang dalam menggunakan barang miliknya sehari-hari, brand lokal Voyej kini menjadi salah satu primadona dompet kulit di kalangan anak muda Indonesia.
Berawal dari tugas akhir kuliah di tahun 2010, 5 orang anak muda bernama Lucas, Ivan, Aradea, Yossi dan Andika ini, kini berhasil menghasilkan uang ratusan juta rupiah setiap bulannya lewat sebuah produk dompet yang mengunggulkan simplicity, quality, dan functionality ini.
Seluruh produk Voyej pun menggunakan bahan baku kulit nabati demi mengusung konsep ‘perjalanan’ tadi, yakni jenis kulit sapi yang melewati proses penyamakan nabati.
Setelah menggodok konsep bisnis, produksi, dan output nya seperti apa, usaha ini akhirnya dimulai di tahun 2011 dengan modal awal sekitar Rp 40 juta.
Nama Voyej merupakan misspell dari kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu Voyage, yang artinya perjalanan. Produk-produk yang diusung oleh Voyej seperti short wallet (dompet pendek), sabuk, tas dan berbagai macam aksesoris lainnya seluruhnya menggunakan bahan baku kulit nabati dan dibuat dengan secara manual.
“Semua proses nya itu handmade atau jahitan tangan. Semua dikerjakan oleh orang lokal yang biasa sehari-hari bikin dompet jahitan tangan,” ujar Aradea, salah satu pendiri Voyej kepada detikFinance, Minggu (31/7/2016).
Masih belum maraknya produk lokal yang menjual produk-produk leather goods saat itu, menjadi alasan 5 orang ini memilih usaha ini untuk dijadikan bisnis. Dengan menggunakan bahan baku (raw materials) yang sebagian besar dari Amerika, produk dompet pendek (short wallet) menjadi signature product dari brand ini.
“Kalau di Indonesia tahun 2010 itu, bisnis ini masih baru. Tapi kalau di Amerika dan Jepang sudah berpuluh tahun yang lalu. Dari situ kita berpikiran bahwa ada peluang usaha, belum ada brand lokal yang buat semacam ini. Mungkin ada saat itu satu brand yang buat bisnis semacam ini, tapi kelemahannya harganya terlalu mahal dan desainnya ribet untuk pasar Indonesia. Jadi kita coba mengatasi hal itu dengan mengeluarkan dompet yang simple, fungsional, dan harganya kompetitif sehingga value nya di masyarakat lebih tinggi,” ucap Aradea.
“Setiap orang kan kegiatannya berbeda-beda, sehingga hasil bentuk dompet yang dari kulit nabati itu berbeda-beda. Contohnya pelajar/mahasiswa, kegiatannya lebih sering outdoor akan beda hasilnya dengan orang kantoran yang seringnya di dalam ruangan. Yang mahasiswa akan kelihatan lebih gelap/dekil, yang kantoran akan lebih bersih. Cerita itu yang kita angkat,” tambahnya.
Sejak awal hingga 5 tahun perjalanannya, Voyej tetap mengincar target pasar umur 18-25 tahun dan segmentasi ekonomi menengah ke atas. Pemasaran produk Voyej dilakukan dengan mekanisme langsung dan tidak langsung.
Produk-produk Voyej dapat ditemukan dengan melakukan pembelian secara online melalui website, dan juga flagship store yang saat ini berkolaborasi dengan salah satu brand lokal lainnya di Jakarta. Voyej juga kini telah tersebar di beberapa kota di Indonesia dan juga luar negeri seperti Singapura, Malaysia, hingga Hong Kong.
“Kalau untuk toko, kita ada yang flagship store namanya stow store, berdiri Desember 2014 di Jakarta. Kolaborasi sama brand lain. Juga ada retailer seperti di the goodsdept di Jakarta, Yogya, Surabaya, Medan, Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong. Di masing-masing kota di luar Jakarta ada satu. Di Jakarta ada enam. Belum termasuk flagship store,” tandasnya.
Aradea mengaku, sejak awal didirikan hingga sekarang, Voyej telah mampu meraih peningkatan omzet hingga 10 kali lipat, dengan kapasitas produksi untuk produk unggulan dompet pendek sekitar 300 unit/bulan.
Harga dompet jual dimulai dari Rp 529.000 hingga Rp 2.499.000. Sementara untuk produk selain dompet dijual dari harga Rp 89.000 (bracelet) hingga Rp 3.299.000.
Meski begitu, usaha ini tidak lepas dari berbagai hambatan. Terlebih dengan bahan baku yang mayoritas impor dari Amerika membuat proses kedatangan barang menjadi lebih lama. Ditambah dengan harga dolar AS yang sempat tinggi. Beberapa hambatan lainnya antara lain proses produksi yang membutuhkan waktu cukup lama, dan daya beli masyarakat yang saat ini dirasa menurun.
“Kulitnya ada masalah di logistik, stok produknya jadi nggak ada, suplai jadinya nggak ada. Ngaruh ke stoknya kita berkurang jauh ditambah daya beli masyarakat yang lagi turun,” ungkapnya.
“Kalau dolar, ngaruhnya ke struktur cost. Karena fluktuasinya tinggi. Itu kita atasi dengan misalnya harus ke profit, kita jadinya nambah kuantitas yang lebih banyak untuk nutupin log yang terjadi. Kita nggak bisa buat naik turunnya harga ke customer. Dari sisi financing nya mesti ngatur kapan kita harus bikin kulit di saat harga yang lebih murah. Dan karena ada transaksi luar negeri, istilahnya kita jadi nabung dolar untuk beli kulit,” imbuhnya.
Ke depan, Aradea menargetkan, Voyej dapat membuka store sendiri, sehingga diharapkan kapasitas produksi dapat bertambah. Ia juga menambahkan, selanjutnya ingin menyasar pasar Amerika dan Australia, mengingat harga dompet di sana dapat dihargai lebih tinggi dengan kualitas produk yang dirasa melebihi harga yang dipatok.
“Kita pengen ada workshop sendiri, paling cepat dua tahun lagi lah. Jadi kita punya akses penuh ke situ dan punya produk yang lebih banyak lagi. Kita juga akan menyasar ke market luar negeri yaitu Amerika dan Australia. Alasannya di Amerika jualnya bisa US$ 300-400. Di Indonesia Rp 800.000-900.000. Buat orang Indonesia produk kita dianggap cenderung mahal tapi kualitas bagus. Kalau di Amerika, produk kita cenderung murah tapi kualitasnya melebihi harganya. Harga jual di Amerika cuma dijual US$ 100 include shipping. Jadi kalau kita punya store saja, itu akan untung buat kita,” pungkasnya.
Leave A Comment